Warga Terdampak Pembangunan Kampus UIII Kota Depok Menjerit
Depok SafiraNews 06.12.2021
Peradi Tatang Pengacara: Proyek Universitas Islam Internasional Indonesia atau UIII, Cisalak, Depok hingga kini masih menyisakan polemik yang belum terselesaikan. Utamanya adalah soal uang kerohiman pada sejumlah warga yang terdampak pembangunan tersebut.
Disisi lain, warga sadar bahwa lahan garapan yang ditempati selama bertahun-tahun ini adalah milik negara. Bahkan, mereka pun secara terangan-terangan siap mendukung adanya proyek UIII.
Namun sayangnya, menurut mereka uang kerohiman yang akan diberikan oleh pihak terkait angkanya masih kurang pantas. Ada sekira 25 Kepala Keluarga (KK) di wilayah itu yang merasa keberatan dengan hitung-hitungan tim apresial.
“Kami intinya mendukung proyek UIII, kami sadar ini tanah negara. Tapi, kami keberatan dengan jumlah uang kerohiman. Itu karena angkanya sangat jomplang antara satu dengan yang lainnya,” kata Ketua RT 02/14 Kampung Bulak, Cisalak, Edi Purwanto pada awak media, Senin 6 Desember 2021.
Adapun kejanggalan yang dimaksud, jelas Edi, misalkan uang kerohiman untuk lahan seluas 1 hektar dengan lahan sekira 1000 meter persegi nilainya sangat jauh berbeda.
“Yang lahannya satu hektar hanya diberikan Rp 215 juta, sedangkan yang 1000 meteran dikasih Rp 527 juta, inikan aneh. Jadi dasar penghitungan kerohiman apa kita juga bingung,” tuturnya.
Padahal, lanjut Edi, jika dilihat kondisi di lapangan, lahan yang seluas 1 hektar itu banyak ditumbuhi pohon jati, pohon sengon dan buah-buahan sampai sayur mayur.
“Kalau saya sendiri disini saya buka lapak daging, di sini ada sapi dan kambing. Lahan saya 3000 meteran. Nah saya cuma dinilai Rp 50 juta-an,” tuturnya.
Edi berharap, uang kerohiman itu bisa kembali ditinjau sehingga warga yang terdampak atas proyek ini bisa angkat kaki dengan hati tenang.
“Saya inikan peternak, ya paling tidak bisa buat kandnag berikutnya. Kalau diliat dari angka yang dituliskan boro-boro buat kandang,” keluhnya.
Ia menambahkan, sejak pihaknya intens melakukan sosialisasi, situasi saat ini semakin kondusif. Bahkan, warga pun telah ikhlas dan siap mendukung kebijakan proyek strategis nasional tersebut.
“Kami sangat mendukung proyek UIII, itukan universitas islam kelas dunia agar generasi bangsa kita bisa lebih baik,” ujarnya.
“Tapi saya inikan usaha disini paling tidak bisa mengentaskan kemiskinan. Nasib karyawan harus saya perhitungkan juga. Saya disini dari 2005,” timpalnya lagi.
Jerit Warga Penggarap Lahan UIII
Tak jauh berbeda dengan Edi, warga lainnya, Zulbair Hasan mengatakan, dirinya berharap uang kerohiman yang diberikan nanti bisa lebih baik dari yang dicatat saat ini. Ia mengaku, sudah menempati lahan garapan di kawasan tersebut sejak 2001, untuk usaha peternakan.
“Disini saya dapat Rp 121 juta, saya ingin disesuaikan saya kan usaha disitu ada kandang sapi, kambing. Saya ini sehari-hari suplai daging ke pasar. Kami bukan menolak, cuma minta disesuaikan lah kerohimannya,” kata dia.
Zulbair menganggap, penilaian tahap dua ini sangat berbeda dengan tahap satu. Sebab, sekarang ini penilaiannya terkesan tidak sesuai.
“Tahap satu bagus, malah tahap dua kurang baik. Saya kan harus usaha lagi. Jadi untuk ganti bangunan kita juga kayaknya nggak kebayar. Saya disini tadinya masih hutan, jalanan juga kita gotong royong. Tadinya disini nggak listrik sampai kita pasang listrik habis Rp 9 jutaan,” tuturnya.
“Kalau berapa layaknya tim apresial tahulah, kita kan usaha. Posisi disini paling strategis, dekat ke pasar,” sambungnya lagi.
Lapor Presiden Hingga Komnas HAM
Terpisah, pengacara warga dari Lembaga Bantuan Hukum Kami Ada, Andi Tatang menilai, sikap protes warga atas uang kerohiman sangat mendasar.
“Karena nilainya di bawah standar. Kita bandingkan dengan beberapa penggarap yang lain, dari mulai luas tanah dan dapatnya itu sangat mencolok dan sangat berbeda sehingga 25 orang ini merasa keberatan dan melakukan penolakan,” katanya.
“Kita tegaskan bukan penolakan pembangunan, tetapi menolak uang kerohiman dan meminta ketua tim terpadu dalam hal ini Gubernur Jawa Barat untuk melakukan penghitungan ulang,” sambungnya.
Tatang menjelaskan, selain tidak sesuai ada pula warga yang justru sama sekali tak mendapat uang kerohiman. Padahal ia suda cukup lama menggarap lahan tersebut.
“Ada yang luas tanahnya 7.000 meter sekian 0 (enggak dapat). Jadi tidak dapat sama sekali, ada yang 1.000 meter sekian dapatnya lumayan, yang 6.000 di bawah Rp 100 juta. Jadi perbedaan ini yang menjadi pertanyaan warga. Ada apa kok bisa dibedakan, menurut mereka.”
Tatang menegaskan, warga berhak melakukan protes karena hal itu diatur dalam Peraturan Presiden sebelumnya, pada Tahun 2018 berkaitan dengan ketentuan pelaksanaan terkait masalah penanganan dampak sosila masyarakat dalam rangka penyediaan tanah dalam pembangunan nasional.
“Dan yang terbaru ada Permen ATR, Nomor 6 Tahun 2020. Jadi warga ini sesuai dengan aturan ketika melakukan penolakan,” ujarnya.
Menurut Tatang, jika dirasa nilai sudah sesuai mereka akan senang hati akan meninggalkan lokasi ini, karena memang mereka sadar tanah ini milik pemerintah.
“Mereka mendukung pembangunan, hanya minta tolong, terkait uang kerohiman memang diperhatikan, karena selepas dari sini mereka yang mencari pekerjaan jangan sampai pemerintah menelantarakn masyarakat atau warga negaranya,” kata dia.
“Dengan adanya tanah garapan di sini bisa menampung ratusan keluarga untuk bekerja, ketika ini dibebaskan berarti akan ada penggangguran yang akan muncul, pemerintah harus menyikapi hal itu dengan serius,” sambungnya.
Terkait hal tersebut, Andi Tatang menegaskan, pihaknya telah melayangkan surat pada Presiden RI, Joko Widodo, Komnas HAM dan Gubernur Jawa Barat.
“Kami juga meminta pada Komnas HAM untuk turun langsung ke lapangan atau setidaknya memanggil berbagai pihak, dalam hal ini pemerintah dengan warga untuk dimediasikan berkaitan dengan uang kerohiman.”